Minggu

POLARISABILITAS

   Pada kajian ini saya akan mencoba membagikan informasi mengenai polarisabilitas. Nahh, pada tulisan sebelumnya saya telah memberikan informasi mengenai Gaya van der waals. Ada nih keterkaitan antara polarisabilitas dengan gaya Van der Waals. Kalau menurut ilustrasi yang telah diberikan oleh Dosen saya, ibarat hubungan kekerabatannya, antara kakek-nenek dan orang tua dengan seorang anak itu adalah ada gaya Van der Waals, nah kalau polarisabilitas ini adalah hubungan anak dengan orangtuanya. Hehehe.. jadi mari kita coba mempelajari tentang Polarisabilitas.
   Apa sihhh Polarisabilitas itu? Polarisabilitas adalah kemudahan suatu molekul untuk membentuk dipol sesaat. Kenapa sih bisa membentuk dipol sesaat???? Nah itu karena adanya proses elektron yang bergerak selalu didalam orbital elektron, proses pergerakan disebabkan karena tarikan elektron satu molekul ke inti molekul jadi berimbas pada sifat molekul dari nonpolar berubah menjadi polar (dipol sesaat). Dipol sesaat itu apa lagii sist?? Hahaha dipol sesaat terjadi karena perubahan yang terjadi ribuan kali atau bahkan juga bisa terjadi jutaan kali setiap detiknya dipol itu hilang atau bahkan sudah berbalik arahnyaa..

          Polarisabilitas dapat dipengaruhi oleh :

a.    massa molekul relatif (Mr) dan bentuk molekul. Jika massa molekul relatif semakin besar, molekul semakin mudah mengalami polarisasi sehingga gaya London semakin kuat. Dengan massa molekul relatif yang sama besar, molekul   yang bentuknya panjang lebih mudah mengalami polarisasi dibandingkan dengan molekul yang kecil, kompak, dan simetris. Semakin mudah molekul mengalami polarisasi, semakin tinggi titik didih dan titik lelehnya. Oleh karena itu, jika massa molekul relatif zat semakin besar maka titik didih dan titik lelehnya semakin tinggi.
  b.   Gaya London meningkat seiring bertambanhya jumlah elektron. Gaya London juga meningkat seiring dengan  bertambahnya massa molar zat, sebab molekul yang memiliki massa molar besar cenderung memiliki lebih banyak elektron. Adanya percabangan pada molekul akan menurunkan kekuatan gaya London, sebab adanya percabangan akan memperkecil area kontak antarmolekul. Titik didih senyawa sebanding dengan kekuatan gaya London.
    c.    Gaya Tarik Dipol
     Molekul-molekul polar cenderung menyusun diri dengan cara saling mendekati kutub positif dari suatu molekul dengan kutub negatif molekul yang lain. Gaya tarik menarik ini disebut gaya tarik dipol. Semakin besar momen dipol yang dimiliki suatu senyawa, semakin besar gaya tarik dipol yang dihasilkan. Gaya ini lebih kuat daripada gaya London. Oleh karena itu, molekul yang mengalami gaya tarik dipol memiliki titik didih dan titik leleh yang lebih tinggi daripada molekul yang mengalami gaya London karena memiliki massa molekul relatif yang hampir sama).

Dalam kajian Kimia Organik Fisik, polarisabilitas ini sangat erat hubungannya dengan kelarutan dalam reaksi kimia.

Sumber :
Fessenden, J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.

Hart. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Jakarta: Erlangga.



Gaya Van der Waals

Gaya Van der Waals

      Pada tulisan saya kali ini saya akan mencoba membagikan apa yang saya pahami mengenai Gaya Van der Waals..

      Mari dimulai dengan pengertian dari gaya Van der Waals, gaya Van der Waals adalah gaya tarik menarik yang terjadi diantara atom ataupun molekul, dimana kekuatan gaya berikut adalah relatif lebih lemah jika dibandingkan gaya yang timbul karena ikatan valensi. Gaya ini timbul dari gaya yang timbul dari dipol tetap (gaya Keesom), dipol rotasi atau bebas (gaya Debye) serta pergeseran distribusi awan elektron (gaya London).

Gaya ini disebut gaya van der waals dan sangat lemah dibandingkan ikatan ion dan kovalen.Dalam molekul Clterdapat ikatn kovalen dengan energi ikatan 240 kj/mol,dan antara molekul Cl2  terdapat gaya van der waals sebesar 21 kj/mol.
Gaya van der waals dapat terjadi antara partikel yang sama atau berbeda .sama halnya dengan gaya kohesi (gaya antara partikel – partikel zat yang sama ) yang di pelajari disekolah lanjutan. Gaya ini terjadi karena adanya sifat kepolaran partikel tersebut. Makin kecil kepolaran makin kecil pula gaya van der waals-nya.

Klasifikasi Gaya Van der Waals
Gaya Van Der Walls dapat dibagi berdasarkan jenis kepolaran molekulnya, yaitu :
  1. Interaksi ion – dipole
Gaya antarmolekul ini terjadi antara ion dan senyawa kovalen polar. Ketika dilarutkan dalam senyawa kovalen polar, senyawa ion akan terionisasi menjadi ion positif dan ion negatif. Ion positif akan tarik menarik dengan dipol negatif, dan sebaliknya. Selain gaya ion-dipol, juga dikenal gaya ion-dipol sesaat, dimana terjadi dari interaksi antar gaya dipol-dipol terinduksi dengan gaya ion-dipol. Jika ion dari senyawa ion berdekatan dengan molekul nonpolar, ion tersebut dapat menginduksi dipol molekul nonpolar. Dipol terinduksi molekul nonpolar yang dihasilkan akan berikatan dengan ion.
Gaya Ion-dipol
Interaksi ion - dipol merupakan interaksi (berikatan) / tarik menarik antara ion dengan molekul polar (dipol).Interaksi ini termasuk jenis interaksi yang relatif cukup kuat.
Contoh :         H+ + H2 H3O+
                 Ag+ + NH3  Ag(NH3)+
Sebagai contoh, NaCl (senyawa ion) dapat larut dalam air (pelarut polar) dan AgBr (senyawa ion) dapat larut dalam NH3 (pelarut polar).

2. Interaksi dipol - dipol
Interaksi dipol - dipol merupakan interaksi antara sesama molekul polar (dipol). Interaksi ini terjadi antara ekor dan kepala dimana jika berlawanan kutub maka akan tarik-menarik dan sebaliknya.
Tanda "+" menunjukkan dipol positif, tanda "-" menunjukkan dipol negatif
Molekul seperti HCl memiliki dipol permanen karena klor lebih elektronegatif dibandingkan hidrogen. Kondisi permanen ini, pada saat pembentukan dipol akan menyebabkan molekul saling tarik menarik satu sama lain. Molekul yang memiliki dipol permanen akan memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkan dengan molekul yang hanya memiliki dipol yang berubah-ubah secara sementara.

3. Interaksi ion - dipol terinduksi
Interaksi ion-dipol terinduksi merupakan interaksi antara aksi ion dengan dipol terinduksi. Dipol terinduksi sebenarnya merupakan molekul netral yang menjadi dipol diakibatkan oleh molekul bermuatan lain yang ada didekatnya dan mempengaruhi. Partikel penginduksi tersebut dapat berupa ion ataupun dipol lain yang mana kemampuan menginduksi ion lebih besar daripada kemampuan menginduksi dipol karena muatan ion juga jauh lebih besar. Kepolaran molekul terinduksi lebih kecil daripada dipol pemanennnya mengakibatkan ikatan ini lebih lemah.
Contoh :   I- + I2  I3

4. Interaksi dipol - dipol terinduksi
Suatu molekul polar yang berdekatan dengan molekul nonpolar, akan dapat menginduksi molekul nonpolar. Akibatnya. Molekul nonpolar memiliki dipol terinduksi.
Dipol dari molekul polar akan saling tarik-menarik dengan dipol terinduksi dari molekul nonpolar. Contohnya terjadi pada interaksi antara HCl (molekul polar) dengan Cl2 (molekul nonpolar).

5. Interaksi dipol terinduksi - dipol terinduksi
Mekamisme terjadinya interaksi dipol terinduksi - dipol terinduksi :
Pasangan elektron suatu molekul, baik yang bebas maupun yang terikat selalu bergerak mengelilingi inti elektron yang bergerak dapat mengimbas atau menginduksi sesaat pada tetangga sehingga molekul tetangga menjadi polar terinduksi sesaat molekul ini pula dapat menginduksi molekul tetangga lainnya sehingga terbentuk molekul-molekul dipol sesaat.

2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Ikatan Van Der Waals
Gaya London ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
1.      Jumlah electron dalam atom atau molekul
Makin besar ukuran atom atau molekul, makin besar jumlah elektron sehingga makin jauh pula elektron terluar dari inti dan makin mudah awan elektron terpolarisasi, serta makin besar gaya dispersi.
2.      Bentuk molekul
Molekul yang memanjang/tidak bulat, lebih mudah menjadi dipole dibandingkan dengan molekul yang bulat sehingga gaya disperse londonnya akan semakin besar.
3.      Kepolaran molekul
Karena Ikatan Van Der Waals muncul akibat adanya kepolaran, maka semakin kecil kepolaran molekulnya maka gaya Van Der Waalsnya juga akan makin kecil.
4.      Titik didih gas mulia adalah
helium
-269°C
neon
-246°C
argon
-186°C
kripton
-152°C
xenon
-108°C
radon
-62°C
Semua unsur tersebut berada pada molekul monoatomik.
Alasan yang mendasari bahwa titik didih meningkat sejalan dengan menurunnya posisi unsur pada golongan adalah kenaikan jumlah elektron, dan juga tentunya jari-jari atom. Lebih banyak elektron yang dimiliki, dan lebih menjauh sejauh mungkin, yang paling besar memungkinkan dipol sementara terbesar dan karena itu gaya dispersi paling besar. Karena dipol sementara lebih besar, molekul xenon lebih melekat (stickier) dibandingkan dengan molekul neon. Molekul neon akan berpisah satu sama lain pada temperatur yang lebih rendah dibandingkan molekul xenon – karena itu neon memiliki titik didih yang lebih rendah.

Sumber Refrensi :


Fessenden, J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.


Hart. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Jakarta: Erlangga.


Jumat

Tau-Tomer

TAUTOMER
                Pada tulisan saya kali ini  saya akan mencoba membagikan apa yang saya pahami mengenai tautomer. Mari kita berangkat dari pengertian tautomer, tautomer adalah  suatu senyawa karbonil yang memiliki ikatan dengan hydrogen alfa yang bersifat asam dan dapat berada dalam dua bentuk
Lalu apa yang dimaksud dengan tautomerisasi? Nah Tautomerisasi adalah  Reaksi perubahannya yang merupakan isomer-isomer yang berbeda satu dengan lainnya hanya pada posisi ikatan rangkap dan sebuah atom hidrogen yang berhubungan,sebab atom hidrogen yang berada dalam posisi yang berlainan, kedua bentuk tautomerik ini bukanlah struktur resonansi, melainkan dua struktur berlainan yang berada dalam kesetimbangan. Perlu untuk dipahami bahwa struktur-struktur resonansi berbeda hanya dalam hal posisi elektron.
Yuk kita coba pahami mekanismenya,




Suatu rekasi pada senyawa dapat mengubah sifat fisika ataupun kimia dari sebuah produk hasil reaksi. Nah, apa aja sih yang dapat menyebabkan terjadinya efek tautomer ini? Berikut ini adalah :
a.    ikatan hidrogen,
b.    keelektronegatifan,
c.     pH,
d.    Pasangan elektron bebas,
e.    resonansi pada aromatik
f.      pelarut.

Secara umum dikenal proses tautomeri antara senyawa karbonil yang mengandung hidrogen-α dengan bentuk enolnya.





Tautomer enol berasal dari (-ena+-ol) yang berarti suatu alkohol vinilik, terbentuk dengan serah terima sebuah hidrogen asam dari dari karbon α ke oksigen karbonil. Pada bentuk enol struktur dari senyawa tidak hanya memiliki ikatan rangkap berkonjugasi yang sedikit menambah kestabilan tetapi juga memiliki susunan yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen internal, yang membantu menstabilkan tautomer.
Sedangkan pada bentuk keto, senyawa karbonil yang tidak memiliki hidrogen α tidak akan bisa membentuk enol jadi nantinya hanya akan berada dalam bentuk keto saja.
Untuk kesetimbangan keto-enol sendiri, kestabilan yang paling terbesar adalah terdapat pada bentuk keto, alasannya ialah bahwa energi ikatan C=C dan C-H dalam bentuk keto lebih tinggi dari pada ikatan C=C dan O-H dalam bentuk enol. Jumlah energi ikat untuk deret tiga ikatan yang pertama di atas adalah 360 kkal/mol dan untuk deret yang kedua adalah 345 kkal/mol. Bentuk keto lebih stabil sekitar 15 kkal/mol. Jika R mengandung ikatan rangkap yang dapat berkonjugasi dengan ikatan rangkap enol, jumlah enol menjadi besar dan bahkan bisa menjadi domina. Dalam hal ini, stabilisasi resonansi dari cincin aromatik lebih tinggi daripada selisih energi yang menguntungkan bentuk keto dibandingkan enol. Aromatisitas hilang jika molekul berada dalam bentuk keto oleh karena itu bentuk enol lebih disukai.
Pembentukan Keto_Enol dipengaruhi oleh katalis asam dan katalis basa, dengan mekanisme sebagai berikut..

                                                                              Reaksi Katalis Asam


Reaksi Katalis Basa



Berikut ini contoh tautomerisasi yang terjadi dari beberapa senyawa:




Pasangan tautomer yang umum adalah:
·         Keton-enol, misal aseton
·         Amida-asam imidat
·         Laktam-laktim
·         Enamina-imina

·         Enamina-enamina



                                                            Daftar Pustaka

Fessenden, J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.

Hart. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Jakarta: Erlangga.